
Namun sayangnya sebagai tradisi kultural, kadang mudik justru keluar dari esensi spiritualitasnya. Sehingga kadang mudik seakan-akan menjadi tak jauh beda dengan festival atau pesta semata. Hiruk pikuk mudik secara nyata dapat kita lihat melalui padatnya ruas-ruas jalan oleh kendaraan bermotor yang berujung pada kemacetan. Apalagi di lebaran tahun 2016 ini kemacetan di jalur-jalur mudik semakin menjadi-jadi. Terjadinya kemacetan parah di berbagai kawasan memang patut disayangkan. Kondisi tersebut menunjukkan betapa lemahnya manajemen transportasi arus mudik dan balik. Kemacetan tersebut terjadi mulai dari wilayah yang dekat dengan Banyuwangi seperti dari Klakah menuju Probolinggo, semakin ke barat tepatnya pertigaan Kertosono Nganjuk, sampai yang terparah seperti di Brebes yang kemudian populer dengan sebutan Brebes Exit atau “Brexit”. Masalah ini mengakibatkan berbagai kerugian mulai dari lamanya waktu yang terbuang, terlebih “Brexit” membuat pemudik sangat kelelahan hingga mengakibatkan beberapa nyawa melayang.
Penumpukan kendaraan di arus mudik dan balik semestinya dapat diantisipasi secara lebih dini, mengingat fenomena ini terjadi setiap tahunnya dan dipastikan selalu disertai dengan meningkatnya volume kendaraan. Apalagi saat ini zaman sudah demikian canggih sehingga pemantauan kepadatan kendaraan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media seperti satelit atau menggunakan drone. Namun menyalahkan pemerintah saja tidak akan menyelesaikan masalah. Kita juga harus menghargai berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan dan menyamankan arus mudik dan balik meskipun memang hasilnya kurang maksimal. Jika kita telisik lebih jauh, munculnya fenomena seperti brexit juga tak lepas dari ego para pemudik. Para pemudik cenderung ingin membawa mobil pribadi untuk pulang ke kampung halaman. Tujuannya tentu untuk menunjukkan eksistensi kepada handai taulan di kampung. Meskipun kalau boleh jujur, belum tentu mobil yang dibawa pulang oleh para pemudik adalah mobil milik pribadi. Sebagian mobil tersebut adalah milik kantor, hasil sewa, dan lain sebagainya.
Memang benar bagi sebagian pemudik membawa mobil pribadi adalah kebutuhan. Seperti mereka yang membawa bayi dan balita ataupun mereka yang membutuhkan kendaraan untuk mengangkut keluarga besar ketika bersilaturahmi di kampung. Namun disadari atau tidak, di sisi lain ini juga menunjukkan bahwa membawa mobil untuk mudik adalah salah satu indikator kesuksesan yang dapat meningkatkan gengsi di depan banyak orang. Sudah saatnya kita mulai menanamkan paradigma bahwa salah satu indikator sebuah negara modern bukanlah jika masyarakatnya semakin banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, melainkan jika semakin banyak masyarakatnya yang menggunakan moda transportasi umum. Memang harus diakui bahwa kualitas maupun kuantitas moda transportasi umum di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Tapi jika dilihat lebih jauh, para pemudik juga enggan memanfaatkan moda transportasi umum yang dalam kondisinya baik sekalipun. Salah satu contoh kecil adalah banyaknya bangku kosong pada bus patas jurusan Surabaya-Yogyakarta. Padahal jika kita hitung secara kasar, seandainya satu bus terisi dengan penuh paling tidak dapat mengurangi sekitar delapan jumlah mobil di jalanan.
Oleh karena itu harus ada kesadaran dari kedua belah pihak, baik pemerintah maupun pemudik. Bagi pemerintah, sudah sewajibnya terus meningkatkan keamanan dan kenyamanan mudik seperti perbaikan infrastruktur mencakup kualitas jalan, penerangan jalan, menambah rest area dan toilet, penyediaan sarana angkutan lebaran yang semakin berkualitas, serta mendesain manajemen transportasi mudik secara lebih komprehensif. Begitu pula para pemudik juga harus menggeser pola pikir yang mengedepankan gengsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar