Sabtu, 04 Maret 2017

Jawa Pos Radar Banyuwangi, 4 Maret 2017, Hlm. 26

Turn Back Hoax dengan Fikih Komunikasi


Informasi bohong alias hoax semakin merajalela akhir-akhir ini. Dalam sekejap sebuah topik tipuan yang sengaja dibuat oknum tak bertanggungjawab bisa menjadi viral. Kata hoax sebenarnya bukanlah istilah baru. Kata ini berasal dari tulisan Richard Locke yang diterbitkan di koran The Sun tahun 1835. Di zaman serba digital seperti sekarang, informasi hoax begitu luas beredar seiring semakin luasnya penetrasi media sosial dan aplikasi chating seperti Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, Whatsapp, dan lain sebagainya. Hoax bagaikan virus yang menjangkiti satu laman ke lama lain, dari satu media ke media lain, dari satu grup obrolan ke ruang grup digital lainnya.
Kini hoax tidak bisa lagi dipandang remeh. Karena jika peredaran hoax di media sosial dibiarkan terus menerus akan berpotensi menghancurkan integrasi bangsa. Apalagi bila hal tersebut dilakukan secara massif, terstruktur, dan berkelanjutan. Celakanya sangat banyak orang yang mudah sekali percaya dan membagikan kabar bohong tersebut hanya dengan sekali klik. Jika sebelumnya istilah “mulutmu harimaumu” telah lebih dahulu populer, kini masyarakat menemukan istilah baru “jarimu harimaumu” yang mengacu pada ketidakmampuan seseorang mengendalikan jari-jemari untuk menggunakan media sosial secara bijak.
Seiring meningkatnya tensi politik menjelang pemilihan umum kepala daerah serentak beberapa waktu lalu, intensitas munculnya berita hoax juga meningkat. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan bahwa hingga Desember 2016 saja pihaknya sudah memblokir hampir 800 ribu situs yang menyebarkan hoax di dunia maya. Apalagi berita hoax tersebut kerap bermuatan politis dan bersinggungan dengan ranah kehidupan manusia yang paling sensitif yaitu agama. Lalu bagaimanakah cara yang efektif untuk mengatasi dan menetralisir maraknya berita hoax, terlebih jika bermotif politis dengan mengatasnamakan agama? 
Salah satu metode strategis yang layak dikedepankan adalah dengan metode yang juga bermuatan agama, yakni menerapkan fiqh (fikih) komunikasi. Fiqh komunikasi merupakan panduan dan tuntunan bagaimana seharusnya kita bersikap saat saling bertukar informasi dengan orang lain. Berdasarkan fiqh komunikasi, saat kita mendengar suatu informasi maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan cek dan ricek atas kebenaran informasi tersebut. Kita tidak boleh tergesa-gesa untuk percaya dan menelan mentah-mentah berita yang kita dapatkan. Sebagaimana hadits riwayat Al Hakim yang artinya “barang siapa yang tergesa-gesa, akan salah”.
Jika informasi tersebut belum pasti benar atau bahkan tidak benar, maka jangan disebarkan. Dalam kondisi tersebut kita layak untuk berpatokan pada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang artinya “barang siapa diam akan selamat”. Diam bukan berarti tidak perduli, namun lebih pada upaya mencegah timbulnya kesalahpahaman dan firnah. Ketika informasi yang didapatkan ternyata benar sekalipun, bukan berarti kita boleh langsung untuk menyebarkannya. Kita harus terlebih dahulu menyaring konten informasi tersebut berdasarkan asas kemanfaatan. Apakah informasi tersebut bermanfaat, tidak bermanfaat, atau malah menimbulkan keresahan.
Jika informasi yang kita dapatkan adalah benar namun tidak bermanfaat atau tidak mengandung nilai kebaikan, maka jangan disebarkan. Sikap ini sejalan dengan hadits yang artinya “barang siapa beriman kepada Allah di hari akhir, katakanlah kebaikan atau diamlah” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Barulah bila informasi yang kita terima dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan membawa manfaat, maka informasi tersebut layak untuk disebarkan.
Maraknya informasi hoax menandakan bahwa betapa pentingnya kita membiasakan ber-tabayun dengan tujuan mengklarifikasi informasi yang diterima sebelum menyebarkannya kepada orang lain. Jika setiap orang mau mengamalkan fiqh komunikasi minimal dimulai dari dirinya masing-masing, mungkin informasi hoax tidak sampai hilang tak tersisa, namun akan dapat diminimalisasi secara signifikan. Dengan demikian kebhinekaan tidak akan terusik dan kita dapat menghindari potensi timbulnya konflik. Turn back hoax!