Selasa, 22 November 2016

Jawa Pos Radar Banyuwangi, 19 November 2016, Hlm. 36

Melawan Budaya Instan dan Irasional


Praktik ‘penggandaan uang’ kembali muncul dan menjadi berita heboh dalam pemberitaan media akhir-akhir ini. Fenomena tersebut terjadi di Probolinggo, daerah yang dapat dikatakan relatif dekat dengan Banyuwangi. Praktik ini dilakukan oleh Taat Pribadi yang lebih populer dengan sebutan Dimas Kanjeng, seseorang yang dalam kesehariannya selalu berpenampilan agamis. Disinyalir praktik ini telah menimbulkan banyak korban, tidak hanya di Probolinggo, melainkan juga daerah lainnya hingga di luar Jawa. 
Dimas Kanjeng memiliki banyak pengikut. Tak tanggung-tanggung, salah satu pengikut yang hingga kini setia membelanya adalah seorang doktor wanita lulusan dari universitas bergengsi Amerika Serikat sekaligus pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang sakit. Masyarakat dilanda budaya instan dimana pola pikir dan perilaku masyarakat ingin mendapatkan keinginananya secara cepat, mengutamakan hasil daripada proses, dan cenderung mencari jalan pintas demi meraih keuntungan berlipat.
Selanjutnya budaya instan tersebut membawa masyarakat pada tindakan-tindakan yang irasional, melawan logika, dan tak sejalan dengan akal sehat. Masyarakat datang berduyun-duyun dengan harapan ‘spiritualitas’ atau ‘karomah’ Dimas Kanjeng dapat menggandakan uang mereka menjadi berkali-kali lipat. Meskipun sebagian dari mereka menolak kata penggandaan dan lebih menggunakan kata ‘pengadaan’, tapi toh sebenarnya sama saja. Sungguh ironis karena fenomena ini terjadi pada masyarakat modern, dimana ciri-ciri dari masyarakat modern tersebut adalah kecerdasan dan rasionalitas yang kuat, bukan lagi percaya pada hal yang bersifat mistis atau takhayul. Namun faktanya, tak hanya orang awam, bahkan seorang intelektual bergelar doktor luar negeri pun begitu mudahnya terpedaya.
Sebenarnya untuk menyimpulkan irasionalitas dari perkara ini cukup mudah. Pertama, jika memang Dimas Kanjeng dapat menggandakan uang, mengapa dia tak menggandakan uangnya sendiri saja untuk memperkaya diri. Kedua, mengapa harus ada mahar yang harus dibayarkan ketika masyarakat ingin menggandaakan uang. Dari dua hal tersebut jelas terlihat bahwa ini adalah praktik penipuan. Atau lebih tepatnya penipuan dengan kedok ‘spiritualitas’. Alasan bahwa uang yang dihasilkan akan digunakan untuk membangun pendidikan dan lain sebagainya tetap saja tak bisa diterima. Karena ketika kita hendak melakukan kebaikan, maka uang yang digunakan juga haruslah didapatkan dari proses yang benar. Mengutip pernyataan dari Profesor Mahfud MD, bahwa dari aspek hukum tindak penggandaan uang adalah perbuatan kriminal. 
Memang masyarakat kita sejatinya masih kental dengan mistisme. Kondisi tak ideal tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab dengan menjual ‘spiritualitas’. Ada beberapa cara yang dapat dikedepankan untuk melawan budaya instan dan irasionalitas tersebut. Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan adalah salah satu faktor dominan yang menyebabkan masyarakat begitu mudah tergiur pada iming-iming mendapatkan kekayaan secara cepat. Meskipun seringkali tawaran yang datang justru di luar nalar normal seorang manusia. Program pengentasan kemiskinan dari pemerintah juga harus terus dievaluasi dan diperbaiki kelemahannya. Karena sejujurnya dapat dikatakan bahwa para korban cenderung lebih tertarik pada hal-hal di luar nalar tersebut dibandingkan program yang ditawarkan pemerintah.
Kedua, pendidikan agama yang benar. Karena pada umumnya meraka yang datang kepada Kanjeng Dimas bermula pada keinginan untuk belajar ilmu agama. Mereka yang haus akan siraman rohani ternyata datang pada orang yang salah. Oleh karena itu, pendidikan agama untuk masyarakat harus semakin diperbaiki dan aqidah semakin diperkuat. Salah satu titik tekannya tentu adalah pada pembentukan kecerdasan logika dan penataan emosi agar masyarakat dapat memahami, menganalisis, dan menolak  tawaran- tawaran aneh dan tak lazim yang ditemuinya.