Sabtu, 16 Juli 2016

Jawa Pos Radar Banyuwangi, 16 Juli 2016, Hlm. 36

Memurnikan Kembali Esensi Mudik Lebaran


Bagi umat Islam di Indonesia mudik merupakan momen besar tahunan yang selalu disambut dengan penuh rasa antusias. Mudik dapat dipandang melalui dua perspektif, yaitu kultural dan spiritual. Secara kultural mudik adalah momen kembalinya imajinasi masa lalu tentang kampung halaman, tentang napak tilas identitas kultural dan genealogis seorang manusia, serta menjadi sarana pelepas kerinduan kepada keluarga. Sedangkan secara spiritual, mudik adalah media sakral untuk saling bermaafan di kampung halaman saat lebaran tiba, setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh.
Namun sayangnya sebagai tradisi kultural, kadang mudik justru keluar dari esensi spiritualitasnya. Sehingga kadang mudik seakan-akan menjadi tak jauh beda dengan festival atau pesta semata. Hiruk pikuk mudik secara nyata dapat kita lihat melalui padatnya ruas-ruas jalan oleh kendaraan bermotor yang berujung pada kemacetan. Apalagi di lebaran tahun 2016 ini kemacetan di jalur-jalur mudik semakin menjadi-jadi. Terjadinya kemacetan parah di berbagai kawasan memang patut disayangkan. Kondisi tersebut menunjukkan betapa lemahnya manajemen transportasi arus mudik dan balik. Kemacetan tersebut terjadi mulai dari wilayah yang dekat dengan Banyuwangi seperti dari Klakah menuju Probolinggo, semakin ke barat tepatnya pertigaan Kertosono Nganjuk, sampai yang terparah seperti di Brebes yang kemudian populer dengan sebutan Brebes Exit atau “Brexit”. Masalah ini mengakibatkan berbagai kerugian mulai dari lamanya waktu yang terbuang, terlebih “Brexit” membuat pemudik sangat kelelahan hingga mengakibatkan beberapa nyawa melayang.
Penumpukan kendaraan di arus mudik dan balik semestinya dapat diantisipasi secara lebih dini, mengingat fenomena ini terjadi setiap tahunnya dan dipastikan selalu disertai dengan meningkatnya volume kendaraan. Apalagi saat ini zaman sudah demikian canggih sehingga pemantauan kepadatan kendaraan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media seperti satelit atau menggunakan drone. Namun menyalahkan pemerintah saja tidak akan menyelesaikan masalah. Kita juga harus menghargai berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan dan menyamankan arus mudik dan balik meskipun memang hasilnya kurang maksimal. Jika kita telisik lebih jauh, munculnya fenomena seperti brexit juga tak lepas dari ego para pemudik. Para pemudik cenderung ingin membawa mobil pribadi untuk pulang ke kampung halaman. Tujuannya tentu untuk menunjukkan eksistensi kepada handai taulan di kampung. Meskipun kalau boleh jujur, belum tentu mobil yang dibawa pulang oleh para pemudik adalah mobil milik pribadi. Sebagian mobil tersebut adalah milik kantor, hasil sewa, dan lain sebagainya. 
Memang benar bagi sebagian pemudik membawa mobil pribadi adalah kebutuhan. Seperti mereka yang membawa bayi dan balita ataupun mereka yang membutuhkan kendaraan untuk mengangkut keluarga besar ketika bersilaturahmi di kampung. Namun disadari atau tidak, di sisi lain ini juga menunjukkan bahwa membawa mobil untuk mudik adalah salah satu indikator kesuksesan yang dapat meningkatkan gengsi di depan banyak orang. Sudah saatnya kita mulai menanamkan paradigma bahwa salah satu indikator sebuah negara modern bukanlah jika masyarakatnya semakin banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, melainkan jika semakin banyak masyarakatnya yang menggunakan moda transportasi umum. Memang harus diakui bahwa kualitas maupun kuantitas moda transportasi umum di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Tapi jika dilihat lebih jauh, para pemudik juga enggan memanfaatkan moda transportasi umum yang dalam kondisinya baik sekalipun. Salah satu contoh kecil adalah banyaknya bangku kosong pada bus patas jurusan Surabaya-Yogyakarta. Padahal jika kita hitung secara kasar, seandainya satu bus terisi dengan penuh paling tidak dapat mengurangi sekitar delapan jumlah mobil di jalanan.
Oleh karena itu harus ada kesadaran dari kedua belah pihak, baik pemerintah maupun pemudik. Bagi pemerintah, sudah sewajibnya terus meningkatkan keamanan dan kenyamanan mudik seperti perbaikan infrastruktur mencakup kualitas jalan, penerangan jalan, menambah rest area dan toilet, penyediaan sarana angkutan lebaran yang semakin berkualitas, serta mendesain manajemen transportasi mudik secara lebih komprehensif. Begitu pula para pemudik juga harus menggeser pola pikir yang mengedepankan gengsi. 

Kamis, 14 Juli 2016

Jawa Pos Radar Banyuwangi, 4 Juli 2016, Hlm. 36

Meluruskan Kekerasan Atas Nama Dakwah


Bulan Ramadhan adalah saat yang sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam karena dianggap sebagai momen yang suci dan sakral untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di bulan Ramadhan pula aktivitas dakwah Islam terasa begitu kental. Mulai dari agenda sederhana masjid-masjid di perkampungan sampai dengan media televisi pun berlomba-lomba untuk menyajikan acara dengan corak dakwah. Terlebih di sepuluh hari terakhir dimana setiap muslim merindukan lailatul qodar.
Dakwah pada dasarnya adalah gerakan mengajak pada perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan munkar (amar ma’ruf nahi munkar). Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak semua orang mampu memahami dakwah secara kontekstual. Akibatnya masih sering kita jumpai orang yang salah dalam mengartikan dakwah, terlebih dalam mengaplikasikannya. Dimana biasanya mereka bertindak dengan mengatasnamakan dakwah, namun tindakan mereka justru kontra produktif terhadap nilai-nilai mulia dalam dakwah.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Pemerintah Kota Serang melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan razia terhadap para pedagang atau warung makanan di awal Ramadhan tahun ini (8/6). Semua barang dagangan disita oleh Satpol PP dengan alasan adanya larangan berjualan makanan di siang hari selama Ramadhan. Ironisnya razia tersebut hanya menyasar pada pedagang-pedagang kecil, sedangkan restoran besar ataupun restoran cepat saji milik asing luput dari razia dan dibiarkan begitu saja. Sontak kejadian tersebut memancing reaksi negatif dari masyarakat luas. Bahkan Gubernur Banten, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pun turut angkat suara menyayangkan tindakan represif Satpol PP tersebut. Semestinya pemerintah khususnya Satpol PP menjadi “pamong” yang baik dan mampu mengayomi masyarakat.
Selain itu tindak kekerasan yang mengatasnamakan dakwah atau penegakan syariah juga sering kita dengar dilakukan oleh ormas-ormas berhaluan “keras”. Terlebih di bulan suci Ramadhan, ormas-ormas tersebut kerap beraksi dengan beringas dan brutal. Padahal mereka semestinya paham bahwa esensi puasa Ramadhan bukan hanya menahan haus dan lapar, melainkan juga menahan hawa nafsu termasuk di dalamnya adalah emosi atau amarah. Namun faktanya sweeping oleh ormas terhadap pihak yang mereka anggap mengganggu kesucian bulan Ramadhan sering dilakukan dengan ancaman bahkan pengrusakan. 
Meluruskan fenomena yang terjadi di atas, kekerasan tentu tak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan firman Allah SWT yang artinya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 125). Kita perlu mengingat bahwa perintah puasa Ramadhan ditujukan kepada orang-orang yang beriman (ya ayyuha alladzina amanu), bukan kepada seluruh manusia (ya ayyuha annas).
Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa menjalankan ibadah puasa adalah didasarkan pada kesadaran bukan paksaan. Oleh karena itu telah jelas bahwa upaya dakwah seperti mengajak berpuasa dan segala aktivitas pendukungnya hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan yang cenderung ke arah premanisme. Dari situlah akan terlihat siapakah orang yang hanya memiliki kesalehan individual dan orang yang juga memiliki kesalehan sosial. 
Bila mengacu pada Ibn Taymiyah yang kerap menjadi patron bagi kelompok Islam “garis keras” sekalipun, menyatakan bahwa “orang yang ingin beramar makruf nahi munkar harus memiliki tiga bekal utama yaitu ilmu, kelemahlembutan, dan kesabaran”. Ilmu diperlukan agar setiap manusia bertindak dengan bekal pengetahuan dan pemahaman yang baik atas permasalahan yang dihadapi. Kelemahlembutan dibutuhkan untuk mengajak pada kebaikan dan melawan kemunkaran secara persuasif. Dan kesabaran bermanfaat untuk menahan diri dari emosi atau tindak kekerasan yang justru akan merugikan. Ini karena tidak semua tujuan dakwah dapat tercapai dengan sekali jalan. Kadang dakwah harus dilakukan secara berulang-ulang dengan penuh kesabaran agar tujuan dakwah dapat tercapai. Dengan berpedoman pada ilmu, kelemahlembutan, dan kesabaran maka dakwah akan tersampaikan dengan damai dan kekerasan dapat diminimalisasi. Layaknya Islam yang diturunkan ke muka bumi sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Tribun Jogja, 18 April 2016, Hlm. 14

Wirausaha Solusi Nyata Menghadapi MEA


Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Dakwah (HMPS-MD) UIN Sunan Kalijaga pada hari Kamis (14/4) menyelenggarakan sebuah seminar bertajuk “Wirausaha Dalam Bingkai Dakwah Sebagai Solusi Menghadapi MEA” di gedung teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Seminar ini sekaligus menjadi pembuka bagi rangkaian acara peringatan dies pertama SK CafĂ©, salah satu unit usaha mahasiswa yang digagas oleh Divisi Ekonomi HMPS-MD.
Dalam seminar ini, HMPS-MD mengundang dua orang narasumber yang berasal dari internal dan eksternal Prodi MD. Narasumber pertama adalah Bayu Mitra A. Kusuma, dosen Prodi MD yang sempat menjadi pengajar di Burapha University International College Thailand beberapa tahun yang lalu. Menurutnya, jika sedari awal Indonesia konsisten menerapkan konsep Trisakti yang dicanangkan oleh Bung Karno pada tahun 1963, maka Indonesia akan menjadi negara yang paling siap menatap ASEAN. Perlu diingat bahwa tiga pilar ASEAN adalah masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sosial budaya. yang sejalan dengan Trisakti yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam sosial budaya.
Namun faktanya Indonesia dianggap belum begitu siap dalam mengarungi MEA yang bergulir sejak 31 Desember 2015 lalu. Justru negara yang paling siap dalam menghadapi MEA adalah Singapura dan Thailand. Bagi Singapura tanpa adanya persiapan khusus pun mereka sangat siap dalam menghadapi MEA. Sedangkan Thailand telah membekali pekerjanya dengan beberapa bahasa asing seperti Inggris dan Indonesia yang menjadi lingua franca ASEAN. Namun Indonesia belum terlambat untuk berbenah.
Sebagaimana dikemukakan narasumber kedua yaitu Buchori Al Zahrowi, entrepreneur sukses yang juga menjadi ketua umum Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) Yogyakarta. Menurutnya salah satu cara terbaik menghadapi persaingan dalam MEA adalah dengan berwirausaha. Yang perlu diperhatikan dalam berwirausaha kita dituntut untuk “terampil dalam mengelola orang-orang terampil”. Oleh karena itu salah satu kriteria mutlak yang harus dimiliki oleh alumnus MD adalah kemampuan manajerial yang baik. Karena alumni tidak semata dididik untuk menjadi karyawan, melainkan bos dari para karyawan. “Semakin banyak entrepreneur di Indonesia maka peluang kita menjadi pemenang di negeri sendiri dan di regional ASEAN sangat terbuka”, pungkasnya. 

Jawa Pos Radar Banyuwangi, 16 April 2016, Hlm. 38

Mengelola Perbatasan Dengan Border Governance


Pemerintah Indonesia melalui Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali meledakkan 23 kapal asing pelaku illegal fishing (5/4), terdiri dari 13 kapal Vietnam dan 10 kapal Malaysia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah belum juga mengeksekusi 11 kapal Tiongkok yang juga ditangkap bersamaan dengan salah satu kapal Vietnam tersebut. Padahal penangkapan tersebut telah terjadi lebih dari satu tahun yang lalu. Ini memunculkan stigma negatif bahwa power dan bargaining Tiongkok memang lebih superior dibandingkan negara lainnya dalam percaturan politik kawasan.
Kita tentu masih ingat clash yang terjadi di perairan natuna (19/3) dimana pemerintah Tiongkok seolah-olah menjadi beking dari aksi pencurian ikan. Cost Guard Tiongkok saat itu menghalangi penangkapan KM Kwaiy Fey, bahkan dengan sengaja menabrak KM Kwaiy Fey agar kapal tidak dapat ditahan oleh Satgas KKP untuk di bawa ke daratan Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Tiongkok mengklaim sebagian besar Laut Tiongkok Selatan (LTS) dengan nine dash line ala mereka sehingga terjadi tumpang tindih klaim dengan beberapa negara lain. Bahkan Tiongkok yang sebelumnya telah menyatakan bahwa Natuna milik Indonesia rupanya kini juga mulai memanaskan konstelasi perbatasan dengan Indonesia. Ini membuktikan bahwa perbatasan membutuhkan perhatian lebih dari negara.
Isu potensi konflik LTS sebenarnya telah cukup lama muncul. Bahkan telah menjadi salah satu topik menarik pada saat debat calon presiden di tahun 2014 lalu. Salah satu kandidat presiden mengatakan bahwa jika muncul ancaman di Natuna yang notabene berada di kawasan LTS maka akan “kita bikin rame”. Belum jelas apa yang dimaksud dengan “kita bikin rame”, namun faktanya saat ini Natuna memang telah “rame” karena ulah maling ikan yang seolah-olah dilindungi oleh pemerintah mereka. 
Pada dasarnya Indonesia dan RRT memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang baik dan strategis. Namun bila konstelasi di Natuna ini tidak segera diatasi akan berpotensi menyebabkan konflik yang lebih besar. Konflik yang terjadi antara Tiongkok dengan Vietnam, Filipina, Jepang atau Malaysia haruslah kita jadikan pembelajaran untuk tidak menafikan potensi konflik perbatasan. Faktanya memang kapal-kapal berbendera Tiongkok kerap melakukan aksinya di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang mereka klaim sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. Klaim ini tanpa dasar mengingat terminologi tersebut tidak diakui dalam hukum internasional UNCLOS 1982. Pemerintah harus tegas agar superioritras Tiongkok tidak berlaku dalam teritori atau kedaulatan Republik Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa perairan Natuna harus dijaga kapal perang kombatan berukuran besar seperti kelas fregat atau korvet. Namun pengamanan secara militer saja akan terasa berat mengingat jumlah kapal perang TNI AL masih terbatas jika dibandingkan dengan luas lautan Indonesia. Karena itu konsep border governance dapat menjadi solusinya, dimana dalam pengelolaan perbatasan melibatkan para stakeholder yang terdiri pemerintah, swasta nasional dan masyarakat lokal.
Border governance adalah kosep yang realistis untuk “bikin rame” perbatasan. Bukan hanya melalui respon reaktif setelah terjadi clash di perbatasan, namun lebih pada menciptakan aktivitas-aktivitas permanen. Pemerintah disini memegang peranan kunci dalam fungsi regulator dan pengamanan wilayah perbatasan. Selanjutnya pemerintah dapat menarik kehadiran swasta nasional untuk berinvestasi seperti pengembangan kawasan wisata ataupun potensi bahari lainnya. Keberadaan swasta akan mengelola perbatasan akan turut membangkitkan geliat perekonomian masyarakat lokal. Sehingga ketika ekonomi bergeliat dan sarana prasarana semakin lengkap, maka meningkatnya rasa nasionalisme masyarakat di garis depan perbatasan negara pun akan berbanding lurus.
Natuna hanyalah salah satu gambaran betapa rentannya wilayah perbatasan. Di bagian lain seperti seperti Ambalat, Talaud dan lain sebagainya juga menunggu untuk terus dikembangkan. Terlebih Presiden Joko Widodo telah mencanangkan program menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sehingga segala potensi kita sebagai negara bahari dan kepulauan harus dioptimalkan. Dengan sinergitas antara pemerintah, swasta nasional dan masyarakat lokal dalam bingkai border governance maka pengamanan dan pengembangan kawasan perbatasan akan semakin realistis dan dinamis, sehingga cita-cita mengembalikan sejarah kejayaan nusantara di lautan akan terealisasi. 

Tribun Jogja, 2 April 2016, Hlm. 14

Menakar Kiprah Lembaga Keuangan Syariah


Pada hari Rabu (16/3) bertempat di Taman Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, untuk keempat kalinya Laboratorium Manajemen Dakwah (MD) menggelar seri diskusi bulanan Program Studi MD atau disebut dengan MD Terrace. Kegiatan ini dikelola oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan Laborartorium MD dan diselenggarakan secara rutin setiap bulannya sejak Desember 2015.
MD Terrace edisi keempat ini menganalisis tentang eksistensi lembaga keuangan syariah kontemporer ditinjau dari peluang dan tantangannya. Narasumber yang dihadirkan adalah Ihsan Maulani dari Magister Keuangan dan Perbankan Syariah UIN Sunan Kalijaga dan dipandu moderator Ihsan Rahmat dari Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM. Keduanya merupakan alumnus Prodi S1 MD sehingga MD Terrace ini selain menjadi forum diskusi ilmiah sekaligus menjadi ajang reuni bagi alumninya.
Tema ini menarik untuk dikaji karena dewasa ini jumlah lembaga keuangan Islam atau lembaga keuangan berbasis syariah semakin bermunculan. Bahkan Prodi MD pun telah membuka mini Baitul Mal Wattamil (BMT) sebagai laboratorium terapan khususnya bagi mahasiswa konsentrasi Manajemen Lembaga Keuangan Islam (MLKI). Namun sangat disayangkan meningkatnya kuantitas lembaga keuangan syariah belum berbanding lurus dengan kualitasnya.
Dari pemaparan diskusi terkuak fakta bahwa ada beberapa alasan mengapa eksistensi lembaga keuangan syariah belum optimal, antara lain disebabkan karena belum selarasnya visi dan kurang koordinasi antar pemerintah dan otoritas pengembangan lembaga keuangan syariah, modal yang belum memadai baik dalam skala industri maupun individual lembaga plus efisiensi yang rendah, mahalnya dana pembiayaan yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan, produk yang tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang belum memadai, teknologi informasi yang belum dapat mendukung pengembangan produk dan layanan, pengaturan dan pengawasan yang masih belum optimal, serta pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Sehingga ke depannya peluang pengembangan lembaga keuangan syariah dapat dilakukan dengan memperkuat sinergitas antar stakeholder, memperbaiki permodalan dan skala usaha serta memperbaiki efisiensi, memperkuat struktur dana untuk mendukung perluasan segmen pembiyaan, meningkatkan kualitas layanan dan keragaman produk, perbaikan infrastruktur, meningkatan literasi dan preferensi masyarakat, serta memperkuat harmonisasi pengaturan dan pengawasan demi terwujudnya lembaga keuangan syariah yang kuat dan berkualitas.

Tribun Jogja, 16 Maret 2016, Hlm. 15

Cegah Pejabat Publik Menggunakan Narkoba


Senin 14 Maret 2016 masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan penangkapan pejabat publik. Penangkapan kali ini bukanlah atas tuduhan tindak pidana korupsi melainkan penyalahgunaan narkoba. Adalah fakta bahwa dewasa ini peredaran narkoba semakin tak mengenal tempat. Barak militer dan lembaga pemerintahan pun tak luput menjadi target pemasaran bagi sindikat atau kartel narkoba. Semakin menyedihkan karena pejabat publik yang terjerat adalah seorang kepala daerah berusia muda yaitu Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi (AWN). Memang sementara ini pejabat publik yang tersangkut kasus narkoba relatif masih sedikit, tetapi BNN menyatakan bahwa angka yang sebenarnya diduga jauh lebih besar karena tak terlaporkan.
Sempat muncul tudingan bahwa penangkapan pejabat publik dalam kasus ini kental dengan aroma politik. Tapi terlepas dari ada atau tidaknya motif politik dalam penangkapan AWN ini, cukup menjadi tamparan keras pada citra pejabat publik sekaligus menjadi alarm yang berdering keras bahwa ada yang harus dibenahi dari mentalitas pejabat publik di negeri ini. Kecewa, kita semua jelas kecewa dengan mencuatnya kasus ini. Namun kecewa saja tidak cukup apabila tidak disertai dengan upaya pemberantasan dan pencegahannya.
Tes Urine Periodik
Pemerintah Indonesia telah menyatakan perang terhadap narkoba karena terbukti merusak fisik dan kejiwaan manusia yang dalam jangka panjang dapat menghancurkan karakter, daya saing dan kemajuan bangsa. Narkoba digolongkan sebagai kejahatan luar biasa dan serius, terlebih saat ini peredaran narkoba terjadi secara internasional dan sangat terorganisir sehingga aparat kesulitan untuk mengendus peredarannya. Bahkan pejabat publik yang notabene adalah panutan dan representasi dari rakyat pun tak luput dari jeratannya. 
Penangkapan AWN ini terjadi kurang lebih satu bulan setelah pelantikannya, sementara BNN telah memantau AWN sejak tiga bulan terakhir. Artinya sebelum menjadi bupati pun AWN telah menjadi pengguna aktif narkoba yang dalam penangkapannya terbukti menggunakan jenis sabu-sabu. Ketika seseorang mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah dia harus lolos tes urine. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana setelah dia terpilih? Oleh karena itu tes urine secara periodik menjadi sangat penting untuk diberlakukan bagi pejabat publik. Memang tes urine secara periodik tidak menjamin bahwa pejabat publik pengguna narkoba akan benar-benar nihil. Tapi paling tidak tes urine secara periodik ini mampu membatasi dan meminimalisir peluang pejabat publik menggunakan narkoba. 
Urgensi Konseling
Di satu sisi menjadi pejabat publik adalah sesuatu yang sangat membanggakan, namun di sisi lain juga terdapat tugas dan tantangan yang tidak ringan. Seperti kalimat populer di salah satu film buatan Hollywood, “dibalik kekuatan yang besar terdapat pula tanggungjawab yang besar”. Sehingga sudah selayaknya jika pejabat publik mendapatkan konseling baik dari konselor professional maupun agamawan. Dengan adanya konseling, pejabat publik akan terbantu dalam mengendalikan beban psikologis ketika menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat. Konseling juga sangat penting untuk terus memunculkan motivasi serta kepercayaan diri pejabat publik bahwa mereka adalah orang-orang terpilih yang dipercaya rakyat.
Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah jelas disebutkan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah tindak pidana. Ancamannya bervariasi mulai dari kurungan satu tahun bagi pemakai hingga hukuman mati bagi pengedarnya. Namun ancaman hukum saja tidak cukup untuk mencegah seseorang berbuat yang tidak semestinya apabila dia telah gelap mata. Untuk itu tes urine secara periodik dan konseling bagi pejabat publik sangatlah urgent untuk diterapkan.

Kedaulatan Rakyat, 29 Februari 2016, Hlm. 12

Membangun Daerah Dari Pantai


Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengawali babak baru sistem pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya begitu sentralistik menjadi terdesentralisasi. Dalam perjalanannya sistem tersebut terus mengalami penyempurnaan melalui terbitnya UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 23 Tahun 2014 dilengkapi dengan UU No. 9 Tahun 2015. Mengacu pada undang-undang tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus mencakup dua hal pokok: pertama, pemberian kewenangan dari pusat kepada daerah, bukan hanya pembagian kewenangan seperti dalam UU No. 5 Tahun 1974. Kedua, pelimpahan tanggungjawab kepada daerah untuk mengelola potensinya. Dapat diartikan bahwa jika suatu daerah telah diberikan kewenangan untuk mengelola potensinya, maka pada saat yang bersamaan daerah tersebut juga menerima tanggungjawab untuk mengawasi pemanfaatannya. Daerah dipandang sebagai motor penggerak dalam memacu perekonomian nasional dimana salah satu sektor yang kini semakin menarik dan menjanjikan adalah pariwisata. The World Tourism Organization memperkirakan bahwa pariwisata menyumbang hingga 10% dari produk domestik bruto global, sehingga pariwisata menjadi industri terbesar di dunia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pariwisata merupakan jalan yang layak dikedepankan dalam membangun ekonomi lokal.
Potensi Gunung Kidul
Salah satu daerah dengan potensi pariwisata besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah Kabupaten Gunung Kidul. Adalah fakta bahwa Gunung Kidul memiliki garis pantai yang panjang dan indah. Nama-nama seperti Pantai Baron, Sepanjang, Krakal, Kukup, Siung hingga Indrayanti semakin ramai dibicarakan khalayak. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pembangunan berbasis wisata pantai di Gunung Kidul sangatlah menjanjikan dan menjadi peluang sebagai city image branding untuk mendapatkan posisi strategis serta pengakuan dari masyarakat luas. Willy Ollins mengemukakan bahwa “branding is one of the most powerful ways of promoting product”. Bagaikan sebuah produk dagang, branding adalah ujung tombak dalam upaya mempromosikan pesona suatu daerah. Terlebih di era komunikasi global yang begitu dinamis seperti dewasa ini, Gunung Kidul harus menampilkan ciri khas dan keunggulan agar memiliki nilai tawar yang tinggi dalam persaingan dimana wisata pantai telah tersedia sebagai modal dasarnya.
Melihat ilustrasi di atas kita akan membayangkan bahwa keberadaan panorama pantai yang indah dan mempesona membuat pembangunan pariwisata menjadi mudah. Padahal sebenarnya tidak selalu demikian karena berbagai masalah dapat timbul seperti minimnya promosi, transportasi yang sulit, akomodasi yang kurang memadai dan kurangnya infrastruktur pendukung lainnya. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemkab dan segenap elemen masyarakat dalam membangun Gunung Kidul dari pantai.
Pelajaran Dari Banyuwangi
Membangun dari pantai merupakan akses bagi Gunung Kidul untuk mengaktualisasi diri di panggung lokal, nasional dan internasional. Salah satu cerita sukses yang dapat dijadikan rujukan adalah Kabupaten Banyuwangi. Kunci sukses dari Banyuwangi membangun pariwisata khususnya pantai adalah menjadikan daerah sebagai produk yang harus dipasarkan potensinya. Selanjutnya Pemkab Banyuwangi menerapkan inovasi berkelanjutan seperti membuat ikon dan destinasi baru sehingga kini destinasi wisata pantai di Banyuwangi tidak hanya sebatas mengandalkan Pantai Plengkung atau G-Land semata. Pemkab terus mengembangkan potensi pantai seperti Grand Watudodol, rumah apung di kawasan Bangsring, sinergi dengan BUMN membangun dermaga kapal pesiar di Pantai Boom dan menjadikan Pantai Pulau merah sebagai venue kompetisi selancar internasional. Lebih dari itu Pemkab juga menggunakan kawasan pantai sebagai ajang berbagai festival seperti Gandrung Sewu di pantai Boom.
Hasilnya, pariwisata Banyuwangi semakin menggeliat dengan puncaknya adalah ketika di tahun 2016 ini Banyuwangi meraih penghargaan dari United Nations World Tourism Organization dalam ajang “12th UNWTO Awards Forum” di Madrid Spanyol untuk kategori inovasi kebijakan publik mengalahkan nominasi lainnya dari Kolombia, Kenya dan Puerto Rico. Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa kesuksesan Banyuwangi merupakan kombinasi dari ketersediaan potensi wisata alam dengan kebijakan Pemkab yang inovatif. Bila Gunung Kidul mengadaptasi pola yang demikian, bukan mustahil nama Gunung Kidul akan semakin mendunia dengan membangun dari pantai sebagai fondasinya.